Iman manusia ini berbagai, ada orang mempunyai iman, namun imannya tidak mampu mendorongnya untuk tunduk dan patuh pada Allah s.w.t dan keduanya orang yang beriman di mana keimanannya mampu menggerakkan tubuh badannya, menggerakkan lisannya, menggetarkan hatinya, sentiasa merasai hubungan hati dengan Allah Taala, merasai kehadiran bahkan menghayati kebesaran dan keagungan Allah s.w.t.sehingga seluruh kesibukannya untuk Allah, hidup dan matinya untuk Allah Taala. Ini yang kita ikrarkan waktu kita mengejarkan solat.
"Sesungguhnya solatku, amalanku, hidup dan matiku Tuhan sekalian alam". Inilah iman yang kita nak bina, iman yang hidup, iman yang berfungsi, iman yang boleh mendorong kita tunduk dan taat pada Allah s.w.t. iman yang akan mempengaruhi sikap kita, mempengaruhi cara kita berfikir hingga seluruh kehidupan ini kita lihat dari kaca mata iman. Bagi orang yang memilih dunia sebagai tujuannya, dia melihat dunia ini dengan pandangan keduniaan dan yang kita tengok adalah keseronokan, hiburan, kebahagiaan yang sementara atau keseronokan yang penuh tipu daya.
Selasa, Januari 15, 2013
1. Menyempatkan diri beribadah
Allah tidak sia-siakan pengabdian diri hamba-Nya, seperti firman-Nya dalam hadis qudsi:
“Wahai anak Adam, sempatkanlah untuk menyembah-Ku maka Aku akan membuat hatimu kaya dan menutup kefakiranmu. Jika tidak melakukannya maka Aku akan penuhi tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak menutup kefakiranmu.” (Riwayat Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim dari Abu Hurairah r.a.)
2. Memperbanyak istighfar
Istighfar adalah rintihan dan pengakuan dosa seorang hamba di depan Allah , yang menjadi sebab Allah jatuh kasih dan kasihan pada hamba-Nya lalu Dia berkenan melapangkan jiwa dan kehidupan si hamba. Sabda Nabi s.a.w.:
“Barang siapa memperbanyak istighfar maka Allah s.w.t akan menghapuskan segala kedukaannya, menyelesaikan segala masalahnya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim dari Abdullah bin Abbas r.a.)
3.Tinggalkan perbuatan dosa
Istighfar tidak laku di sisi Allah jika masih buat dosa. Dosa bukan saja membuat hati resah malah menutup pintu rezeki. Sabda Nabi s.a.w.:
“… dan seorang lelaki akan diharamkan baginya rezeki kerana dosa yang dibuatnya.” (Riwayat at-Tirmizi)
4. Sentiasa ingat Allah
Banyak ingat Allah buatkan hati tenang dan kehidupan terasa lapang. Ini rezeki yang hanya Allah beri kepada orang beriman. Firman-Nya:
“(iaitu) orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingati Allah . Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
5. Berbakti dan mendoakan ibu bapa
Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah s.a.w. berpesan agar siapa yang ingin panjang umur dan ditambahi rezekinya, hendaklah berbakti kepada ibu bapanya dan menyambung tali kekeluargaan. Baginda s.a.w. juga bersabda:
“Siapa berbakti kepada ibu bapanya maka kebahagiaanlah buatnya dan Allah akan memanjangkan umurnya.” (Riwayat Abu Ya’ala, at-Tabrani, al-Asybahani dan al-Hakim)
Mendoakan ibu bapa juga menjadi sebab mengalirnya rezeki, berdasarkan sabda Nabi s.a.w.:
“Apabila hamba itu meninggalkan berdoa kepada kedua orang tuanya nescaya terputuslah rezeki (Allah ) daripadanya.” (Riwayat al-Hakim dan ad-Dailami)
Rabu, Januari 02, 2013
Tanbihun.com - Dalam
pengembaraan menyelami apa sebenarnya yang tersirat dalam hati, kita
sering terjebak oleh doktrin mimpi dari olah khayalan dan keinginan yang tak
pasti. Membanding-bandingkan kebahagiaan, merasa terdholimi dengan sebuah
keadaan seolah kita lah orang yang paling berduka hidup didunia.
Mungkin pikiran kita
terlalu sempit untuk menerjemahkan bahasa hikmah yang Allah ingin sampaikan,
bahwa manghadapi sesuatu itu haruslah dengan ilmu. Sedang ilmu Allah itu
tiada batas, Allah bisa saja memberikan pelajaran hidup yang amat
berharga melalui media yang remeh-temeh dalam pandangan manusia yang tidak
pernah kita sangka sebelumnya.
Belum lama ini saya silaturrahim kerumah seorang
sahabat, dari panjang lebar obrolan ada satu pelajaran hikmah yang membuat saya
sangat terkesan. Suatu saat dia (sahabat saya) bertemu dengan orang yang
hidupnya sangatlah sederhana dan mungkin banyak yang menganggap remeh dengan
kesehariannya sebagai pencari rumput.
“pak, hal apa yang bisa membuat bapak itu bahagia?”
Tanya sahabat saya,
Dengan enteng bapak tadi menjawab, “ kae lho,
ijo-ijo neng ngarep omahmu.. (itu lho rumput hijau didepan rumahmu)”
sembari terkekeh ringan.
“memang tidak ada keinginan yang lain? Punya
kendaraan atau apa gitu?” sahabatku melanjutkan pertanyaan yang hanya
dijawab dengan senyum ringan si Bapak.
Dalam hati saya
hanya bisa berkata, “subhanallah.. sesederhana itu kah orang bisa mendapat
kebahagiaan..”? hingga saya malu pada diri sendiri.
Saudaraku………
inilah salah satu contoh ilmu hikmah yang Allah
sampaikan kepada kita. Sebagaimana dalam firmanNya:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا
وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan
kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik”. (Q.S Yusuf : 22)
Kadang saat Allah menguji dengan meletakkan
sebuah rasa yang dilematis ataupun lainnya, jangankan seoarang awam
(biasa) bahkan orang yang sudah berpredikat sebagai ahlut-tausyiyah
pun hatinya bisa bungkam karena tidak mampu menyelesaikan “apa sebenarnya yang
harus dilakukan, dalam situasi yang seperti ini?”, karena pada kenyataan
saat kita dihadapkan pada sebuah ujian, ternyata tidak semanis untaian kata
hikmah yang biasa dibaca untuk dipraktekkan. Hingga cemas, seolah menjadi
menu wajib untuk kosumsi hati.
Apakah
ada yang salah dengan sifat cemas?
Tentu saja tidak. Semua tergantung dari rasa
‘cemas’ itu timbulnya dari perasaan yang seperti apa? Karena cemasnya
seorang mukmin amatlah beda dengan cemasnya orang yang belum sampai pada
tingkatan mukmin (alias islamnya masih dalam kadar mengucapkan dua kalimah syahadat
saja) atau belum menyentuh pada hakikat, orang yang tunduk patuh dan menyerah
kepada perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ
تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي
قُلُوبِكُم
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami
telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah: “Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. .
.” (QS. Al-Hujurat: 14)
Kemudian, “sudah mukmin kah
kita?” karena cemasnya orang mukmin, seperti yang sudah di
sampaikan Sayyidina Utsman bin Affan Rodliyallohu ‘anhu adalah,
Pertama, cemas (takut
kepada Allah), khawatir jikalau sewaktu-waktu Allah mencabut kenikmatan
iman.Kedua, cemas akan malaikat hafadhah (pencatat), takut mereka mencantumkan amal yang dapat mempermalukan diri pada hari kiamat.
Ketiga, cemas akan setan, takut seandainya ulah mereka menjadi sebab terhapusnya segala amal kebaikan diri.
Keempat, cemas akan malaikat maut, takut tiba-tiba nyawa dicabut, sedang diri tengah lengah atau lupa.
Kelima, cemas akan gemerlap dunia, takut diri terbujuk, terpukau, sehingga lupa kehidupan akhirat.
Keenam, cemas akan
keluarga, takut terlalu disibukkan oleh mereka, sehingga lupa dari
mengingat Allah ‘azza wa jalla. (dikutip dari: Nasha-ihul ‘Ibad –
Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-’Asqalani)
Meraba
hati
Cemas (takut kepada
Allah), khawatir jikalau sewaktu-waktu Allah mencabut kenikmatan iman.
Pernahkah kita merasakan kecemasan mengenai hal
ini? Karena mungkin sebagian besar kecemasan kita adalah jika Allah mencabut
harta yang kita punya, kita sering cemas jika kenikmatan dunia yang sudah Allah
berikan didunia ini Dia cabut, hingga kita sering lalai atas kenikmatan yang
paling utama dibanding kenikmatan lainnya yakni nikmat
iman.
Cemas akan malaikat
hafadhah (pencatat), takut mereka mencantumkan amal yang dapat mempermalukan
diri pada hari kiamat.
Mungkin kata-kata diatas jarang terlintas di
benak kita, karena terlalu kita sibuk menutupi aib dosa demi menjaga nama baik
kita dihadapan mahlukNya.
Cemas akan setan,
takut seandainya ulah mereka menjadi sebab terhapusnya segala amal kebaikan
diri.
Karena setan tidak akan pernah berhenti mengajak
manusia menjadi sekutunya, sekecil apaun peluang yang setan dapatkan hingga ibaratnya
keihlasan ibadah yang hampir sampai pada Allah bisa dia (setan) porak
porandakan. Hanya dengan satu bisikan “fulan berbahagialah karena kamu termasuk
‘mukhlisin’ dan aku tidak mampu menggodamu” sementara hati kita merasa bangga
dengan ucapan tersebut.
Cemas akan malaikat
maut, takut tiba-tiba nyawa dicabut, sedang diri tengah lengah atau lupa.
Dalam sebuah hadits, “Perbanyaklah menyebut
pelebur kenikmatan, yaitu : mati.” (Riwayat Tirmidzi dan Nasa’i, dan dinilai
shahih oleh Ibnu Hibban). Inilah rasa kecemasan yang membuat seorang
muslim akan selalu ingat dengan Penciptanya, karena ia sadar bahwa
nafsu buasnya akan kemegahan dunia seketika tidak akan ada artinya bila
nyawa sudah terlepas dari raga.
Artinya, cemas akan datangnya kematian
mampu memberikan motivasi agar tidak terbuai nikmat duniawi hingga melupakan
kehidupan ukhrowi (akhirat). Hingga tidak pernah mengambil pusing berbagai
ujian dunia, toh pada ahirnya tidak akan pernah ada harganya bila kematian
menjemput ia dalam keadaan melalaikan Tuhannya.
Cemas akan gemerlap
dunia, takut diri terbujuk, terpukau, sehingga lupa kehidupan akhirat.
Saudaraku, inilah salah satu fitnah terbesar kita
hidup didunia. Seolah kita tidak pernah lelah memburu dunia, rasa dahaga yang
tidak pernah puas akan materi kerap membuat kita tertipu akan aturan syar’I
bagaimana seharusnya rizki itu dicari. Kita terpesona bahkan tunduk melihat
pangkat jabatan didunia sehingga menghalalkan berbagai cara, kita terlalu
berambisi dengan pengakuan bahwa kita ‘layaknya seorang yang harus dihormati’.
Bujuk rayu dunia akan senantiasa akrab dengan siapa saja, dari tampuk
pemerintahan sipil bahkan predikat ustadz
atau ulama sekalipun.
Hingga kecemasan akan hal diatas patutlah
dimiliki oleh insan yang bergelar seorang ‘mukminin’ , karena dirinya
tidak pernah merasa selamat akan tipu daya dunia.
Cemas akan keluarga,
takut terlalu disibukkan oleh mereka, sehingga lupa dari mengingat Allah.
Saya teringat sebuah kisah shalafush-shalih akan
hal ini, saat kehidupan keluarganya belum di karuniai seorang anak, sang suami
amat begitu taat beribadah hingga bisa dikatakan dia sudah mampu mencapai
tingkatan “orang yang mencintai Allah”, hingga Allah mengujinya dengan
memberinya seorang puteri kecil nan cantik. Namun sayang, semenjak kehadiran
buah hatinya kecintaannya kepada Allah semakin berkurang karena saking cintanya
kepada sang puteri.
Hingga Allah menegurya melalui mimpi, dimimpinya
orang tadi sudah memasuki syurga dan menempati sebuah istana megah namun sayang
istana itu agak cacat, karena yang semestinya ada berlian yang menghiasi di
atas kubahnya ternyata kosong, hingga ia pun bertanya keada Allah, “wahai Allah
dimanakah berliannya..”, Allah menjawab, dulu sewaktu kamu didunia sebelum Ku
anugerahi seorang puteri diriimu amat mencintaiku, tapi setelah AKu memberimu
seorang puteri rasa cintamu berkurang, itulah sebabnya kenapa berlian itu
kosong”, hingga akhirnya orang shalih tadi pun terbangun dan mengucapkan istighfar,
bersamaan dengan itu terdengar kabar bahwa puterinya sudah meninggal dunia.
(hanya Allah yang tahu akan kebenaran
cerita ini)
Kisah diatas merupakan satu contoh, bahwa
merasa hawatir kalau kecintaannya kepada keluarga lebih besar dari pada
cintanya kepada Tuhannya.
Wallahu’alam
Rabu, Januari 02, 2013